Cari Blog Ini

Badan Eksekutif Mahasiswa Matematika Universitas Negeri Jakarta

BEM MATEMATIKA UNJ 2016-2017

Inilah kami, Pejuang-Pejuang BEM MATEMATIKA UNJ 2016-2017....

PROFIL BEM MATEMATIKA 2016-2017

BEM Matematika adalah organsasi mahasiswa di....

[HOT] Anjangsana 2016

Mau tau keseruan Matematika UNJ Goes to Semarang? Tengok yuk....

Minggu, 23 September 2012

Hasil Babak Semifinal dan Final Calcup IV

Inilah hasil Skor dari Babak Semifinal dan Final Calculus Cup IV. Download di [sini]
Read more >>

Hasil Babak Penyisihan Calcup IV

Mau tahu hasil Skor Babak Penyisihan Calculus Cup IV? Download di [sini]
Read more >>

Sabtu, 15 September 2012

Pemenang II Sayembara Menulis


JUARA II SAYEMBARA MENULIS
Departemen Profesi dan Keilmuan BEM Jurusan Matematika 2012
 
Program Perpustakaan dan Guru untuk Desa
Nanda Eka Rahayu, Pendidikan Matematika SBI 2010
 
Pendidikan merupakan salah satu tolak ukur kemajuan suatu Negara. Negara maju memiliki pendidikan yang maju pula. Negara maju juga mementingkan pendidikan. Negara maju akan selalu memajukan pendidikan. Akankah Indonesia bisa disebut sebagai negara yang maju, jika melihat keadaan sekarang banyak masalah-masalah yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia? Salah satunya yaitu masalah pemerataan pendidikan.
Seperti yang dikatehui, Indonesia tersebar luas sebagai negara kepulauan. Ini menjadi salah satu hambatan pemerintah dalam memajukan ataupun mendistribusikan pendidikan, terutama sarana dan prasarana pendidikan. Jikamelihat sekolah-sekolah di suatu daerah terpencil, banyak yang bisa dikatakan tidak layak. Tidak seperti di kota besar, sebuah ruangan kelas sejuk menggunakan AC, lengkap dengan komputer, LCD, dan hotspot yang bisa diakses secara mudah. Di daerah, memang mereka memiliki ruang kelas yang sejuk, bukan sejuk karena pendingin ruangan, namun sejuk karena udara luar yang masuk melalui lubang-lubang kecil dinding kelas yang hanya terbuat dari anyaman bambu. Jangankan mengenal hotspot, bahkan banyak siswa-siswa yang tidak mengenal komputer, mereka tahu ada komputer, namun tidak pernah merasakan menggunakannya. Belum lagi mengenai sumber belajar. Banyak percetakan buku-buku pelajaran yang ada di kota, tentu saja buku-buku akan tersalurkan dengan cepat dan akan lebih sering diperbarui mengikuti perkembangan zaman. Namun, jika kita melihat di suatu daerah, banyak sekolah-sekolah yang hanya menggunakan buku-buku seadanya dan jarang mendapatkan buku-buku terbaru. Memang, pemerintah sudah baik mengeluarkan buku sekolah elektronik yang terjangkau oleh masyarakat, namun lagi-lagi penyebarannya masih belum merata.
Dalam hal ini pemerintah terutama yang berwenang dalam bidang pendidikan seharusnya bisa mengatasi hal ini dengan baik. Memang akses ke seluruh tempat di Indonesia tidak mudah, terutama di daerah kepulauan terpencil dan daerah pegunungan. Kementerian Pendidikan Nasional dan Departemen Pendidikan di setiap daerah seharusnya bekerja sama dalam masalah pemerataan ini. Kemendiknas menginstruksikan dan memberikan wewenang atau otonomi kepada Departemen Pendidikan di setiap daerah sampai dengan tingkat kabupaten dan kecamatan untuk memberikan perhatian lebih terhadap sekolah-sekolah yang ada di setiap daerahnya dan mendistribusikan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
Ada baiknya apabila pemerintah mengelola perpustakaan umum untuk masyarakat. Perpustakaan biasanya hanya terdapat di sekolah-sekolah. Tentu saja hal ini hanya bisa dinikmati oleh siswa-siswa sekolah saja. Adapun perpustakaan umum yang ada di daerah hanya terdapat sampai di kota atau kabupaten saja belum sampai tingkat daerah. Pemerintah bekerja sama dengan pemerintah daerah mengadakan Program Perpustakaan untuk Desa. Jadi,setiap desa memiliki perpustakaan umum yang bisa dinikmati oleh seluruh elemen masyarakat. Tentu saja pengelolaan harus dilakukan dengan baik dan buku-buku juga harus diperbarui secara berkala.
Kualitas pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh sarana dan prasarana yang memadai, tetapi juga dari dari segi sumber daya guru. Susahnya akses menuju suatu daerah juga menghambat tersebarnya guru-guru untuk daerah-daerah. Banyak guru yang merasa lebih suka mengajar di kota. Selain akses yang ditempuh lebih mudah, kesejahteraan dan kemudahan hidup bisa dijumpai di perkotaan. Sehingga, kurangnya kesadaran akan pemerataan pendidikan di Indonesia bahkan berawal dari guru itu sendiri.
Pendidikan memang terlihat lebih maju di daerah perkotaan. Perguruan tinggi-perguruan tinggi yang memiliki kualitas bagus banyak terdapat di kota. Para putra daerah yang mendapatkan kesempatan belajar hingga perguruan tinggi berbondong-bondong datang ke kota untuk belajar. Mereka belajar dan mempunyai ilmu yang dapat digunakan untuk memajukan daerahnya. Kebanyakan dari mereka akan merasakan kemudahan hidup di kota, dan banyak pula di antara mereka yang memutuskan untuk tinggal di kota. Jika setiap putra daerah yang berpotensi untuk kemajuan pendidikan memutuskan tetap tinggal di kota, lalu siapa yang akan memajukan daerah? Padahal mereka sangat diharapkan untuk kembali, untuk memajukan daerahnya sendiri. Kota yang sudah maju dalam pendidikan sudah memiliki banyak sumber daya guru. Untuk apa banyak bersaing di kota jika pendidikan daerah masih sangat membutuhkan sumber daya guru?
Hal seperti ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Kemendiknas sebaiknya lebih jeli dalam mengatur persebaran guru di Indonesia. Setidaknya pemerintah benar-benar menerapkan peraturan yang mengikat kepada setiap guru yang sudah PNS untuk mau dan bersedia ditempatkan di seluruh Indonesia, serta bersungguh-sungguh dalam pelaksanaannya. Ketika kesadaran akan pulang dan memajukan daerahnnya sendiri dari setiap putra daerah menurun, di sini perlu adanya campur tangan pemerintah. Pemerintah sebaiknya mengeluarkan sebuah kebijakan yang mewajibkan setiap putra daerah yang belajar di kota untuk pulang dan mengabdi kepada daerahnya. Memang,untuk tetap tinggal ataupun pulang merupakan sebuah pilihan dan hak masing-masing individu. Namun, masih haruskah untuk memilih jika pendidikan memang sangat membutuhkannya?
Read more >>

Pemenang I Sayembara Menulis


JUARA I SAYEMBARA MENULIS
Departemen Profesi dan Keilmuan BEM Jurusan Matematika 2012
 
Menghadapi Tantangan Global dengan Kebijakan Pendidikan
Titia Rakhmawati, Pendidikan Matematika SBI 2010
 
Indonesia, negeri sejuta rasa. Terdiri atas berbagai macam suku bangsa dan bahasa dengan budaya elok nan jelita. Bukan lautan, hanya kolam susu. Sumber daya alam melimpah ruah di negeri ini. Namun kini, hal tersebut hampir tinggal sebuah cerita. Terbatasnya sumber daya manusia yang mampu mengelola sumber daya alam yang ada menjadi salah satu penyebab semakin terpuruknya bangsa ini dalam menghadapi tantangan global yang menggila.
Tak bisa dipungkiri bahwasanya dunia pendidikan merupakan akar dari seluruh permasalahan yang ada di Indonesia. Namun, jika pendidikannya saja bermasalah, entah apalagi yang dapat dilakukan. Berbicara tentang pendidikan tak terlepas dari pembicaraan tentang pelaku pendidikan itu sendiri, pendidik salah satunya. Pendidik adalah sumber utama dalam proses pendidikan. Menjadi seorang pendidik berarti tidak hanya menjadi seseorang yang berkompeten di salah satu bidang studi tertentu tetapi juga menjadi figur yang dapat diteladani oleh para peserta didik. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang pendidik yang berkompeten dan profesional, diperlukan wadah pencetak berupa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang juga berkompeten.
Harus kita akui, LPTK sebagai wadah pencetak tenaga kependidikan adalah kunci utama dari akar permasalahan pendidikan. Pendidik atau guru yang notabene bersentuhan langsung dengan para peserta didik haruslah seseorang yang benar-benar memahami dan menjiwai profesi yang digelutinya, seseorang yang dapat dikatakan pahlawan tanpa tanda jasaMaka dari itu, kebijakan pertama yang harus diterapkan adalah menjadikan LPTK sebagai lembaga yang benar-benar dapat menghasilkan pendidik yang profesional dan berkompeten. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memperketat proses seleksi penerimaan calon guru di seluruh LPTK yang ada di Indonesia. Proses seleksi calon guru haruslah sesuai dengan kriteria guru profesional yang ingin diciptakan, dalam konteks ini adalah guru profesional yang sesuai dengan UU no. 14 tahun 2005. Finlandia, negara dengan predikat pendidikan tertinggi ketiga di dunia, menerapkan sistem bahwasanya pendidik adalah mereka yang merupakan lulusan terbaik (the best ten) dari universitas terbaik di sana. Bagaimana dengan Indonesia? Beranikah kita untuk menjalankan kebijakan seperti Finlandia?
Kebijakan kedua adalah alokasi dana pendidikan yang merata. Pendidikan untuk semua berarti setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2) tertulis jelas bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainyaPemerataan pendidikan di Indonesia masih menjadi salah satu permasalahan yang krusial. Kurangnya akses menuju daerah pedalaman, terbatasnya jumlah guru, dan terbatasnya dana pendidikan menjadi penyebab utama ketidakmerataan pendidikan hingga saat ini. Ditambah lagi keberadaan para koruptor tak berotak yang kerap kali mengorupsi dana pendidikan. Oleh karena itu, dengan mengalokasikan dana pendidikan secara merata dan mengawasi pendistribusiannya, diharapkan pendidikan untuk semua di Indonesia dapat terwujud, tidak ada lagi di satu sisi terdapat sekolah dengan sarana prasarana serta prestasi gemilang namun di sisi lain terdapat sekolah yang bangunannya disebut sebagai bangunan sekolah pun tak sanggup.
Kebijakan ketiga yakni pendidikan yang mengindonesiakan. Derasnya arus globalisasi memaksa kita untuk menyamakan standarisasi pendidikan dengan dunia internasional. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) didirikan, bahasa Inggris selaku bahasa internasional diterapkan dalam proses pembelajaran di kelas. Peserta didik dipaksa untuk memahami pembelajaran yang semakin sulit tanpa menggunakan bahasa ibu mereka. Kacau balaulah jadinya. Pemerintah dirasa belum siap dalam menjalankan kebijakan ini. Beberapa guru didatangkan dari luar negeri, tanpa tahu kualitas mereka di negerinya, yang terpenting adalah mereka dapat berbahasa Inggris dan sedikit memahami bahasa Indonesia, hal ini dilakukan demi mengatasi terbatasnya jumlah guru di Indonesia yang mahir mengajar dalam bahasa Inggris. Padahal, menurut singkat saya, yang terpenting dalam proses pembelajaran bukanlah bahasa apa yang digunakan, bahasa Internasional atau bukan, yang terpenting adalah peserta didik mampu memahami apa yang mereka pelajari dan dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan untuk mewujudkan hal tersebut jelas dibutuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan mereka di negeri ini. Oleh karena itulah, yang sekarang terlihat di mata masyarakat justru adanya kastanisasi dalam dunia pendidikan. Perbedaan sekolah SBI dan RSBI dengan sekolah reguler hanyalah dari segi bahasa serta sarana dan prasarana saja, bukan kualitas yang katanya internasional (entah definisi apa yang digunakan untuk mengatakan bahwa sekolah tersebut telah menyandang gelar internasional). Bukan berarti bahasa Inggris itu tidak penting, sangatlah penting untuk mempelajari bahasa Inggris, apa lagi dalam menghadapi tantangan global saat ini, namun tidak dengan cara menginggriskan mata pelajaran yang ada di sekolah. Pancasila tetaplah landasan pendidikan Indonesia dengan UUD 1945 sebagai arahnya, demi terwujudnya pendidikan yang mengindonesiakan. Pendidikan Indonesia, semakin pintar semakin Indonesia.
Menghadapi tantangan global dengan kebijakan pendidikan adalah langkah tepat menuju kesejahteraan Indonesia. Pendidikanlah yang menciptakan sumber daya manusia bagi pengelolaan sumber daya alam Indonesia, manusia yang akan mewujudkan kesejahteraan bagi bangsanya, Indonesia. Bangkit pendidikanku, bangkit negeriku.
Read more >>