JUARA I SAYEMBARA MENULIS
Departemen Profesi dan Keilmuan BEM Jurusan Matematika 2012
Menghadapi Tantangan Global dengan Kebijakan Pendidikan
Titia Rakhmawati, Pendidikan Matematika SBI 2010
Indonesia, negeri sejuta rasa. Terdiri atas berbagai macam suku bangsa dan bahasa dengan budaya elok nan jelita. Bukan lautan, hanya kolam susu. Sumber daya alam melimpah ruah di negeri ini. Namun kini, hal tersebut hampir tinggal sebuah cerita. Terbatasnya sumber daya manusia yang mampu mengelola sumber daya alam yang ada menjadi salah satu penyebab semakin terpuruknya bangsa ini dalam menghadapi tantangan global yang menggila.
Tak bisa dipungkiri bahwasanya dunia pendidikan merupakan akar dari seluruh permasalahan yang ada di Indonesia. Namun, jika pendidikannya saja bermasalah, entah apalagi yang dapat dilakukan. Berbicara tentang pendidikan tak terlepas dari pembicaraan tentang pelaku pendidikan itu sendiri, pendidik salah satunya. Pendidik adalah sumber utama dalam proses pendidikan. Menjadi seorang pendidik berarti tidak hanya menjadi seseorang yang berkompeten di salah satu bidang studi tertentu tetapi juga menjadi figur yang dapat diteladani oleh para peserta didik. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang pendidik yang berkompeten dan profesional, diperlukan wadah pencetak berupa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang juga berkompeten.
Harus kita akui, LPTK sebagai wadah pencetak tenaga kependidikan adalah kunci utama dari akar permasalahan pendidikan. Pendidik atau guru yang notabene bersentuhan langsung dengan para peserta didik haruslah seseorang yang benar-benar memahami dan menjiwai profesi yang digelutinya, seseorang yang dapat dikatakan pahlawan tanpa tanda jasa. Maka dari itu, kebijakan pertama yang harus diterapkan adalah menjadikan LPTK sebagai lembaga yang benar-benar dapat menghasilkan pendidik yang profesional dan berkompeten. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memperketat proses seleksi penerimaan calon guru di seluruh LPTK yang ada di Indonesia. Proses seleksi calon guru haruslah sesuai dengan kriteria guru profesional yang ingin diciptakan, dalam konteks ini adalah guru profesional yang sesuai dengan UU no. 14 tahun 2005. Finlandia, negara dengan predikat pendidikan tertinggi ketiga di dunia, menerapkan sistem bahwasanya pendidik adalah mereka yang merupakan lulusan terbaik (the best ten) dari universitas terbaik di sana. Bagaimana dengan Indonesia? Beranikah kita untuk menjalankan kebijakan seperti Finlandia?
Kebijakan kedua adalah alokasi dana pendidikan yang merata. Pendidikan untuk semua berarti setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2) tertulis jelas bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pemerataan pendidikan di Indonesia masih menjadi salah satu permasalahan yang krusial. Kurangnya akses menuju daerah pedalaman, terbatasnya jumlah guru, dan terbatasnya dana pendidikan menjadi penyebab utama ketidakmerataan pendidikan hingga saat ini. Ditambah lagi keberadaan para koruptor tak berotak yang kerap kali mengorupsi dana pendidikan. Oleh karena itu, dengan mengalokasikan dana pendidikan secara merata dan mengawasi pendistribusiannya, diharapkan pendidikan untuk semua di Indonesia dapat terwujud, tidak ada lagi di satu sisi terdapat sekolah dengan sarana prasarana serta prestasi gemilang namun di sisi lain terdapat sekolah yang bangunannya disebut sebagai bangunan sekolah pun tak sanggup.
Kebijakan ketiga yakni pendidikan yang mengindonesiakan. Derasnya arus globalisasi memaksa kita untuk menyamakan standarisasi pendidikan dengan dunia internasional. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) didirikan, bahasa Inggris selaku bahasa internasional diterapkan dalam proses pembelajaran di kelas. Peserta didik dipaksa untuk memahami pembelajaran yang semakin sulit tanpa menggunakan bahasa ibu mereka. Kacau balaulah jadinya. Pemerintah dirasa belum siap dalam menjalankan kebijakan ini. Beberapa guru didatangkan dari luar negeri, tanpa tahu kualitas mereka di negerinya, yang terpenting adalah mereka dapat berbahasa Inggris dan sedikit memahami bahasa Indonesia, hal ini dilakukan demi mengatasi terbatasnya jumlah guru di Indonesia yang mahir mengajar dalam bahasa Inggris. Padahal, menurut singkat saya, yang terpenting dalam proses pembelajaran bukanlah bahasa apa yang digunakan, bahasa Internasional atau bukan, yang terpenting adalah peserta didik mampu memahami apa yang mereka pelajari dan dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan untuk mewujudkan hal tersebut jelas dibutuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan mereka di negeri ini. Oleh karena itulah, yang sekarang terlihat di mata masyarakat justru adanya kastanisasi dalam dunia pendidikan. Perbedaan sekolah SBI dan RSBI dengan sekolah reguler hanyalah dari segi bahasa serta sarana dan prasarana saja, bukan kualitas yang katanya internasional (entah definisi apa yang digunakan untuk mengatakan bahwa sekolah tersebut telah menyandang gelar internasional). Bukan berarti bahasa Inggris itu tidak penting, sangatlah penting untuk mempelajari bahasa Inggris, apa lagi dalam menghadapi tantangan global saat ini, namun tidak dengan cara menginggriskan mata pelajaran yang ada di sekolah. Pancasila tetaplah landasan pendidikan Indonesia dengan UUD 1945 sebagai arahnya, demi terwujudnya pendidikan yang mengindonesiakan. Pendidikan Indonesia, semakin pintar semakin Indonesia.
Menghadapi tantangan global dengan kebijakan pendidikan adalah langkah tepat menuju kesejahteraan Indonesia. Pendidikanlah yang menciptakan sumber daya manusia bagi pengelolaan sumber daya alam Indonesia, manusia yang akan mewujudkan kesejahteraan bagi bangsanya, Indonesia. Bangkit pendidikanku, bangkit negeriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar